Air Mata Bunda
Darah ini air mata bunda
di sini kami membasuh luka
dengan setetes cuka
biar gelak tetap terbahak
menatap wajah sang bapak
di sini kami meronta
pada kata-katamu yang gila
pada debaran jantung dunia
darah ini air mata bunda
meruap dalam nada-nada resah
menggejolakkan sisa-sisa perapian
dari sudut ruang hampa
dari ridu pada kerinduan
Pematang Usang Milik Sikumbang
Aku kembali pulang dari gudang zaman
berlari dalam lagu ragu
di pematang usang milik sikumbang
sambil menyemai sisa-sisa lasi
yang bertebaran di kulit-kulit goni
walau gersang merangkah tanah
ada cagkul tua maja kulun
berdendang untuk sebuah rindu
pada jejak-jejak mamak
untuk jejak-jejak bundo kanduang
Mencabik Cerdik
Kami datang dengan seikat kuncup
menjemput bahasa berbudaya
di tengah megahnya retorika
di dalam kegelapan makna
berharap menemukan sebuah kata
barangkali ini susah
karena kami sering gelisah
menguak kebisingan menggelegah
Pagi dan beberapa helai ribuan
menghantarkan kami pada bangku-bangku bis kota
sementara topik keilmuan menjalar
pada detik yang berlayar
berpacu dengan nafas dunia
Pak, ini bunga ragu berfatwa
terpaksa melepas gentar dengan kelakar
disudut meja-meja bundar
yah,
setidaknya ada talempong pelepas jengah
dari bangku yang tak berubah
bengkalai itu akhirnya tetap diteriakkan pilu
menyedihkan ternyata
bahwa kian hari kian lelah bermahkota
lumpur jalan tadi sisakan perih di kaki kami
desah kecil kembali terisyaratkan
persis selambar kertas putih kusam
sadar akan diri kami segera ditulis
dibaca berulang untuk kemudian dibuang
kami simpan sindiri perih luka tak berdarah
Indonesia tak berarah
timbangan rasa tentu,
ketika alunan itu semakin menyesak
memanggil ayunan langkah-langkah kecil dulu
kian tak terarah
berat, bak lunglainya langkah onta menapaki zahara
duduk pun terbawa gelisah
sementara tegak berarti kacak mendongak
melawan perih manusiawi
bengkalai itu kemudian kau pajang
dan gusung menjulang
jelang hari esok yang semakin tak menentu
Dosa Siapa
dalam kantong hitam kresek sebuah bayi tersobek
ari-arinya menjalar pada tanah becek
anjing kurap krempeng mengendus-endus dosa
gadis belia
di pojok trotoar kumuh
seonggok sampah menyelimuti orok.
belum sempat berteriak: ‘oo waak..!!!
belum sempat mengenyam susu emak
kucing betina termangu menelan amis
ingatannya melayang, perut boyoknya menjadi
bayang:
aku telah mandi pada mani tak berbudi
akan bagai mana anakku nanti?
Menunda Derita
Asap senja nyeleneh dari sela dinding tadir dangau
lusuh
reranting yang sedari pagi dipungut tangan renta itu
tak jua bersilang, membara dalam tungku
tak ada minyak tanah di botol limun
sementara kerongkongannya tak sabaran menunggu
seteguk air
membasahi luka hati yang nyaris bernanah
air liurnya mengental merajut sisa-sisa enzim
diharap mampu membelalakkan mata
biar esok masih ada suara
dari sudut dalam dangau tua itu, ada batuk nyeletuk
dahaknya menebal pada bandur kebal
yang setia menemani tubuh tunggal nyaris terjungkal
terkadang suara cucunya riuh
menyanyikan lagu burung kakak tua:
“burung kakak tua hinggap dijendela
nenek sudah tua giginya tinggal dua”
Cu..
gigi nenek sudah tidak ada:
Jerit jengkel nenek menunda derita