Kosmopolitanisme dalam Pakaian Adat Minang

Sejak lama sesungguhnya, kuasa politik tak saja wacana tentang kekuasaan atau pengaruh, tapi juga ranah domestik; rumah tangga, dapur, perkawinan, dan pakaian. 25 tahun lalu (1986) orang menyaksikan pertarungan wacana identitas oleh keberadaan pakaian yang ditampilkan oleh Imelda Marcos (ibu negara) dan Corazon Aquino (oposisi). Dua perempuan luar biasa dari Asia Tenggara ini berebut pengaruh politik dengan menampilkan citra antara modernitas dan tradisional dalam pakaian mereka. Imelda tampil secara elegan dengan pakaian modis terno, sebuah pakaian berlengan kupu-kupu dan menjadi “pakaian nasional”. Sementara Aquino dengan anggun muncul lewat pakaiannya yang selalu berwarna kuning, simbol perempuan mandiri dan tradisionalis.

Periode kolonial merupakan lahan subur bagi semainya kontradiksi antara yang moderen dengan tradisional, tak terkecuali pada simbolik makna dari pakaian keduanya (Roces, 2008). Wacana identitas ini, di Indonesia, salah satunya sangat kuat disimbolkan dalam cara berpakaian para pemimpin, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, Kyai Hasyim Ansy’ari, dan sebagainya. Pakaian mereka mempresentasikan makna dalam identitas kemodernan, nasionalis, keislaman, kejawaan, kesundaan, keminangkabauan, dan sebagainya. Tetapi sebaliknya, di level grass root terdapat tarung identitas yang membelah sosio-kultural masyarakat pada; kuno dan moderen.

Bagaimanapun, di setiap kompetisi budaya, maka adat atau nilai-nilai tradisi menjadi pusat perhatian dari tarikan pembaruan modernitas yang mendesak. Ini sangat tampak pada tarik menarik dan asimilasi pakaian adat dan pakaian moderen atau nasionalis di awal abad ke-20 lalu. Beberapa karya klasik terbitan Balai Pustaka, seperti Pertemuan, Siti Nurbaya, atau Sengsara Membawa Nikmat, pada sisi lain justru mengisahkan tarung wacana identitas pakaian diantara tokoh utamanya dan sosio-realis zaman.

Terbalik sebenarnya ketika konteks narasi ini dibawakan ke masyarakat Minangkabau (Minang), utamanya dalam pakaian adat mereka. Sebagai etnis dengan budaya pesisir, pakaian adat Minang terbentuk oleh akulturasi aksesoris budaya lain yang dibawa perantau ke tanah asal, konsep ini juga menyiratkan sifatnya yang kosmopolit.

Budaya pesisir

Kosmopolitanisme masyarakat Minang terbentuk oleh adanya ikatan emosional dan kultural sebagai entitas dagang. Meski oikumene (pusat peradaban) Minang terletak di kisar tiga gunung; Merapi, Singgalang, dan Sago. Namun tradisi masyarakat ini kental beraroma pesisir. Hal ini disebabkan adanya dua sungai besar yang melewati pemukiman masyarakat, seperti Batanghari, dan Siak-Indragiri. Temu arus sungai yang mengairi tiga wilayah kaki gunung tersebut menyebabkan masyarakat aktif dalam perdagangan “internasional”. Dalam keseharian, pakaian selain bagian dari ciri keminangkabauan, sekaligus komunikasi nirverbal diantara para pedagang sehingga mereka mengetahui mereka berhadapan dengan penghulu adat atau orang biasa. Oleh karena itu, tukar barang antar pedagang pendatang berdampak pada aksesoris adat Minang sebagai pusat perhatian dari tarikan temu dua budaya diantara mereka.

Maka sejak awal peradabannya, masyarakat Minang terbiasa dengan kosmopolitanitas yang terefleksi pada pakaian adat dan keseharian mereka. Pada pakaian adat, baik laki-laki dan perempuan disebutkan bahwa orang Minang itu; babaju guntiang cino, badeta Jao/Jawa, bakerih Aceh, basaruang bugih, sarawa batik jawa (berbaju gunting Cina, berikat kepala dari Jawa, berkeris Aceh, bersarung Bugis, bercelana batik Jawa). Terbaca dalam mamangan;

(kok nak pai bajalan

turuikkan langkah bak bacatua
turuikkan ayun bak babuai
pakailah pulo deta jawa
kanakkan malah kain bugih
saruangkan baju guntiang cino
pakai sarawa lambuak aceh
sarato tarompa rang gujarat
baitu caro anak dagang

(bila hendak berjalan

turutlah langkah bagaikan bermain catur

turutlah langkah bagaikan berbuai

pakailah destar (ikat kepala) Jawa

kenakanlah kain Bugis

sarungkan baju gunting Cina

pakai celana lembuk Aceh

serta terompah orang Gujarat

demikian cara anak dagang)

Pituah/mamangan di atas menjelaskan bagaimana anak dagang Minang hendak berjalan mencari kehidupan layak (merantau). Mereka belum berguna di rumahgadang sebagai “laki-laki” Minang—pararel dengan konsep “wong Jowo”. Sebagai identitas mereka mesti bisa meyakinkan orang lewat pakaian mereka yang kosmopolit. Dalam pituah itu mestilah berdestar Jawa, baju sutra dari Cina atau memakai terompah dari Gujarat. Menilik daerah-daerah yang disebut, maka sulit dipungkiri jika kelompok etnis itu telah berkontak langsung dengan orang Minang yang bertinggal di pusat pulau (Sumatera).

Namun pemisahan ekstrem atas mana yang modernis dan tradisionalis meminggirkan makna kontekstualitas kosmopolitanisme pakaian adat Minang di era kontemporer. Konstruksi modernitas sebagai bagian dari desakan hegemoni budaya Orde Baru selama tiga dekade makin menenggelamkan representasi makna kosmopolitan pakaian adat Minang. Ia terganti oleh yang disangkai sebagai maju dan bagian dari identitas kemajuan lewat jas, pentalon, rompi, jins, topi, dan sebagainya oleh sebagian besar orang Minang, termasuk di desa. Dalam perkembangan lanjutan, ironis, pakaian adat Minang kemudian makin tereduksi sebagai aksesoris budaya semata. Secara demonstratif pakaian moderen ditampilkan sebagai kreasi “politik modernitas”.

 Mengawangi modernitas

Politik modernitas” pakaian moderen orang Minang kini tidaklah berlokasi di dalam situs-situs kemodernan. Justru ia berjejak pada ruang-ruang purbakala sangka pemakainya. Terbalik kondisi ini ketika modernitas diacu pada pemutusan untuk bergaul dalam peradaban dunia yang dinamis (dunia dagang). Maka dari itu hidup dalam tradisi moderen tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Sebab, reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menutup apa yang baik dari masa lalu (tradisi/adat), dan menutup kesempatan pengayaan dari pengalaman tradisi lama yang dianggap kolot dan tidak maju. Tapi memaknai masa lalu sebagai pijakan kearifan, dan masa kini (yang moderen) sebagai resultasi pengayaan.

Pakaian adat yang menjadi simbol makna pada awalnya oleh tetua budaya Minang, kini, ditarik pada ketergerusan yang menempatkannya sebagai aksesoris belaka. Modernitas yang berusaha dimaknai sebagai identitas, justru menarik orang Minang pada paradoks entitas. Pada konteks inilah generasi terkini Minang hidup dalam kias; dek baharok rajawali tabang di langik, punai di tangan dilapeh (berharap rajawali yang terbang di langit, akhirnya punai—yang kecil—di tangan dilepas. Berharap mendapatkan hasil yang besar (modernitas) di angan, tapi yang ada di tangan justru dilepas. Padang Ekspres 17 April 2011.

Leave a comment

Filed under Retorika

Apakah Bahasa Minang Bukan Bahasa Ilmu?

Oleh F. Malin Sutan Kayo

Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, di sebuah fakultas pada satu universitas di tanah Minangkabau, begitu bangga (sejauh saya lihat), karena mereka menulis skripsi dengan bahasa Inggris. Jika ada mahasiswa Sastra Inggris yang menulis skripsi dalam Bahasa Indonesia, maka dia akan dipandang hina, akan jatuh gengsinya selama-lamanya, akan selalu menjadi cemooh di setiap ota di lapau atau kafe. Arang akan tercoreng di kening selama-lamanya. Sebaliknya terlintas pikiran saya, begitu hinakah bahasa Indonesia? Apa arti sumpah muda di sana. Barangkali kita janganlah bicara tentang persoalan “pemuda”, mari kita bicara tentang “sumpah”’. Audzubillah, wahai bahasa Indonesiaku, yang menjadi tamu di negeri sendiri?

Saatnya Jurusan Sastra Minang Menulis Skripsi dengan Bahasa Minang

Namun cerita ini, ironinya masih berkelanjutan, karena timbul pertanyaan; mengapa mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau tidak menulis skripsi dalam bahasa Minangkabau. Apakah bahasa Minangkabau tidak ilmiah, tidak hebat, tidak menaikan gengsi? Bukankah kebudayaan Minangkabau itu hebat? Bukankah tujuh puluh lima persen dari Bapak Pendiri Bangsa Indonesia dilahirkan oleh budaya Minangkabau? Bukankah ajaran budaya Minang penuh dengan filosofi yang dalam? Bukan budaya Minangkabau tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan? Bukankah alam terkembang jadi guru?

Namun bagi mereka yang kontra (ada seorang professor mengatakan) menyatakan; bahwa bahasa Minangkabau bukanlah bahasa yang ilmiah bukanlah bahasa ilmu pengetahuan. Tentu kita bertanya, apa alasannya, dan apa persyaratan sebuah bahasa menjadi bahasa ilmiah dan bahasa ilmu pengetahuan.

Ternyata, pada dahulunya bahasa Inggris bukanlah bahasa ilmu pengetahuan, bukan bahasa ilmiah. Orang Eropa mengagungkan bahasa latin sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping mereka mendustai sejarah sampai hari ini, bahwa bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan setelah jatuhnya Romawi, dan sain ilmiah sesungguhya milik orang Islam. Padahal semua bahasa berhak untuk menjadi bahasa ilmiah, dan bahasa ilmu pengetahuan, tidak satupun larangan dapat ditimpakan kepadanya untuk tidak boleh menjadi bahasa ilmiah.

Hanya ada satu makalah ilmiah berbahasa Minang, mungkin ini yang pertama, makalah yang ditulis oleh Dr. Jufrizal dengan judul Bahaso Minangkabau Ragam Adat dalam Patamuan Banuansa Adat di Kota Padang (Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau, 22-23 November 2004). Bukankah ini mulai membuktikan bahwa bahasa Minang dapat dijadikan bhasa ilmu pengetahuan. Tidak ditemukan ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang melarang menjadikan bahasa Minang menjadi bahasa ilmiah (tidak ada undang-undang, peraturan pemerintah atau universitas yang melarang mahasiswa Sastra Minang menulis karya tulis ilmiah dan skripsi dalam bahasa Minang).

Mereka masih juga berdalih, bukankah bahasa kita adalah bahasa Indonesia, cukuplah bahasa Indonesia saja. Mengapa harus menegakan paham kedaerahan, etnosentris, primordialis. Saya pikir ini adalah yang “berlemak peak” (maaf) saja, “lain gayung lain sambut”. Baiklah, kalau ingin ber-Indonesia kita, mengapa mahasiswa Jurusan Sastra Inggris harus menulis skripsi dalam bahasa Inggris? Bukankah mereka berada di negara Indonesia? Atau kalau begitu mari kita punahkan kekayaan daerah semuanya, hilangkan Jurusan Sastra Daerah semuanya, karena alasan kita adalah adanya etnosentris, paham kedaerahan. Merdekakan semua daerah, atau larang semua daerah memakai bahasa daerahnya, dan budaya daerahnya. Aneh sekali bukan? Nah nampaknya tentulah tidak mungkin berpikir dengan cara generalisir ini?

Memang bukan kita sentimen dengan jurusan sastra Inggris, tidak, bahasa Inggris perlu, bahasa Indonesia apa lagi, di sinilah kedalaman filosofi budaya Minang; tagak di kampuang membela kampuang, tagak di nagari membela nagari, tagak di Negara membela Negara, tegak di dunia Internasional membela kepentingan seluruh bangsa. Dima aia di sauak di sinan rantiang dipatah, dima langik dijunjuang di sinan bumi dipijak, babiliak ketek babiliak gadang, sawah bapamatang.

Bukan kita mematikan lampu orang untuk menghidupkan lampu kita. Mengapa kita harus mematikan potensi bahasa daerah untuk menghidupkan bahasa Indonesia? Sedangkan bahasa asing dibolehkan begitu saja? Kalau memang kita bersikukuh dengan prinsip harus berbahasa Indonesia maka, seluruh jurusan, fakultas, universitas dan lembaga pendidikan yang ada di Indonesia harus berbahasa Indonesia dalam belajar mengajar serta menulis karya ilmiah (mahasiswa sastra Inggris harus menulis skripsi dalam bahasa Indonesia). Demikian juga seluruh sekolah-sekolah bertaraf internasional, berbahasa tionghoa, harus dilarang. Apa mungkin?

Tentu tidak mungkin. Sekarang orang berlomba-lomba membuat sekolah bertarif (baca; taraf) internasional dengan proses belajar mengajar harus berbahasa Inggris (sejak dari SD sampai PT). Lantas bahasa Indonesia entah kemana? Jangan-jangan kita masih bersemangat inlander, tidak mau menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, dan tidak bangga dengan bahasa Indonesia.

Pada pihak lain, menghidupkan budaya Minangkabau bukanlah etnosentris, bukan paham kedaerahan, melainkan kedaerahan dilihat sebagai aset bangsa Indonesia yang bhineka. Bukankah aset budaya daerah Indonesia satu persatu mulai diambil bangsa lain, katakanlah “rendang”, “reok ponorogo”, “tari indang”, “tahu”, (beberapa waktu yang lalu ada dosen dari negera tetangga telah mengumpulkan ribuan pantun dari Minang dan dibawa ke negaranya). Konon kabarnya yang hebat berandai sekarang adalah Universitas Hawai, dan yang paling piawai dan pendekar dengan silat tradisi Minang adalah orang Amerika. Bukan orang tidak boleh memakai budaya kita, boleh saja, yang jadi persoalan adalah “kita bagaimana”? Lantas apakah kita masih bersikukuh dengan klaim paham kedaerahan, etnosentris, primordial? Mengapa marah ketika diambil orang? Sebaliknya dihidupkan bangsa sendiri juga dimarahi, dipelihara juga dimarahi? Sakit jiwa apakah kita sebenarnya? (kita tidak mau memeliharanya bahkan menjadikannya karakak tumbuh di batu, akan tetapi ketika diambil orang kita marah).

Budaya Minang sebenarnya sudah sangat jauh tertinggal dengan budaya Sunda dan Jawa. Contohnya; di Sunda ada majalah (konon suratkabar), novel, puisi, berbahasa Sunda dan ada award setiap tahun, begitu juga di Jawa. Di Minang sudah lama sekali tidak ada suratkabar dan majalah berbahasa Minang, tidak ada novel dan puisi berbahasa Minang (jika ada kaba yang diterbitkan, itu pun kaba lama dan klasik yang selalu di cetak ulang dan ditulis ulang). Masih untung ada beberapa rubrik berbahasa Minang di Koran (seperti rubrik Palanta. Bakaba, Jilatang, Si Sabai, Bakambang Kato), dan berita edisi bahasa MInang di radio, tetapi banyak kapitalis radio tidak mau menerima penyiar yang masih bersisa dialek Minangnya.

Saya masih ingat, ada mail alumni jurusan sastra Inggris, dia ingin pulang kembali ke Padang untuk belajar randai, saluang dan budaya Minang. Ternyata yang dibutuhkan orang dari kita adalah budaya kita sendiri. Mengapa kita tidak mau menumbuhkan budaya dan bahasa kita, menghidupkannya; sama dengan budaya orang lain, duduk sama rendah tegak sama tinggi. Mengapa kita tidak menjadikan bahasa Minang menjadi bahasa ilmiah, bahasa ilmu pengetahuan? Mengapa mahasiswa jurusan sastra Minangkabau tidak boleh menulis skripsi dalam bahasa Minang (yang konon satu-satunya jurusan di dunia, dan alumninya mengajar di Leiden, sarta sulit ditemukan ada jurusan di Unand yang membuat alumni dapat mengajar di UI dan Belanda). Sedangkan jurusan bahasa Arab (di IAIN) menulis skripsi dalam bahasa Arab, begitu juga jurusan bahasa Jepang. Begitulah! Semantang pun begitu, jika ada yang tersinggung akan naik terlantung akan turun, tersipak pedati tegak, banyak maaf berkarelaan. Demikianlah tulisan ini untuk penghangat-hangat saluang. Wasalam. Puruih Kabun, 11112008;22:50

*) Fadlillah Malin Sutan Kayo, dosen dan peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.

1 Comment

Filed under Isu Utama

“Tentang Manusia dalam Bumi Manusia”

Pembaca yang terhormat, pada edisi kali ini kami kutip panjangkan sebuah analisis terhadap karya sastrawan besar Indonesia oleh Sdr. Vincent Liong dengan harapan bisa menjadi rujukan analisis bagi para kritikus sastra pemula. Selamat belajar dan membaca!

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”(2002:135)

Pengantar

Studi mengenai manusia telah menjadi studi yang tidak ada habisnya. Ia terus menjadi topik yang menarik di muka bumi. Sepanjang segala abad, manusia diajak untuk bertanya mengenai siapakah dirinya. Filsafatlah yang sering menjadi jembatan atas pertanyaan itu. Namun hal ini pun tidak pernah memuaskan. Antara aliran satu dengan yang lain seringkali tidak pernah melengkapi, bahkan punya kecenderungan untuk saling mereduksi. Manusia menurut Nietszche tidaklah sama dengan manusia menurut Sartre atau Foucault, sebagai contoh. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak pernah dapat dipahami.

Salah satu medium yang dapat memberikan alternatif untuk memahami manusia adalah karya sastra. Mengapa karya sastra? Secara de facto, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang bersifat historis. Ia berbicara tentang manusia dan waktu. Tentu saja, perihal waktu demikian mengacu pada masa lalu. Masa lalu yang bagaimana? Apa hubungan antara masa lalu dengan kehidupan manusia sekarang? Apakah karya sastra mampu memberikan perspektif yang lebih jelas tentang gerak manusia dan waktu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan kecil ini, saya menyajikan beberapa panorama yang berhubungan dengan eksistensi manusia melalui Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

1. Minke: Figur Si Manusia Bumi

Cerita si manusia bumi diawali dengan perkenalannya kepada kita para pembaca dengan,”Orang memanggil aku: Minke!”(2002:1). Kata Minke (dibaca Mingke) merupakan plesetan dari kata monkey yang berarti monyet. Di awal cerita ini, tokoh Minke telah dipersamakan dengan arti monyet, dan ia menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Minke sebagai seorang berdarah jawa, berkulit cokelat yang bersekolah di sekolah dengan guru dan murid yang berkulit putih. Bahkan, untuk menatap wajah seorang bule Jawa pun ia belum berani. Menggunakan atau belajar ilmu dan tehknologi barat pun ia merasakannya sebagai sebuah kelainan, menyalahi wujud sebagai orang Jawa. Hingga pada suatu saat ia pun berinisiatif mencatatnya sebagai hal-hal baru yang menarik hati. Begitulah, berpikir seperti monyet yang menonton manusia. Ironis dan sangat menyakitkan memang. Dari sini, tampak ketidakpuasan dan keputusasaan yang telah ditanamkan penjajah pada pri-Bumi di Bumi nya sendiri, Bumi Manusia. Pemandangan di Bumi Manusia dalam kacamata Minke yang masih merasa monkey diawali dari berbagai peristiwa. Minke mulai membuka diri, untuk mulai berdamai dengan lingkungan yang baru mulai ia tonton. Karena ini Bumi Manusia, tentu saja pemandangan itu terdiri dari struktur manusia, baik komunitas maupun individu. Dalam proses membuat kesimpulan mengenai sebuah manusia, Minke sebagai seorang manusia memiliki kesempatan untuk menyimpulkannya melalui beberapa tahap.

Tahap Pertama, saya sebut sebagai konsep Sinecdoce totem pro parte, Sinecdoce pars prototo.(Sebagian melambangkan keseluruhan, keseluruhan melambangkan sebagian) yang saya lihat ada di diri seorang Minke di bagian awal cerita. Tahap ini sangat penting dalam memandang bagaimana Minke mengenal identitasnya. Sama seperti manusia pada umumnya, tahap ini dilalui Minke ketika pertama kali ia berada di lingkungan sekolah yang mayoritas, atau bahkan keseluruhan dari populasi adalah kelompok yang sama yaitu bangsa Eropa, sedangkan ia sendiri adalah seorang Jawa, ia sendiri dan kesepian. Sehingga jika terjadi suatu konflik kecil saja, seorang Minke sebagai seorang individu akan menyamaratakan semuanya dalam persepsinya bahwa semuanya adalah sama. Trauma kesendirian ini akan melekat terus selama ia merasa sendirian. Ketika trauma kesendirian itu telah melekat dalam diri Minke, event apapun yang memungkinkan terjadinya keadaan kesendirian itu akan dianggapnya sebagai suatu hal yang akan menindasnya. Seperti kalimat yang ada di pikiran Minke, ketika pertama kali mengunjungi rumah tuan Mallema,”Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat mengunggu meledaknya pengusiran.”(2002: 15). Bukan hanya sampai di situ. Ketika Minke pertama kali bertemu dengan Annelies, anak Herman Mallema. Saat itu Minke masih belum berani menatap wajah Annelies hanya karena Annelies yang berkulit putih, halus dan berwajah Eropa.

Yang ada di kepalanya hanya,”Tidakkah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga dan pribumi pula?”(2002:14). Dalam kepalanya Minke sudah menyamaratakan bahwa semua orang Eropa akan merendahkannya. Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa sebagai seorang individu, ia belum menyadari Bumi Manusia sebagai kumpulan yang terdiri dari individu-individu yang memiliki perbedaan satu sama lain. Tahap Kedua lebih mengacu pada proses pencarian jati diri Minke sebagai seorang pribadi. Ini yang paling seru! Sebagian besar halaman dari buku ini mengangkat proses pencarian jati diri Minke, bukan kesimpulan, bukan pula ending dari perjalanan itu. Disadari atau tidak, dalam tahap ini seorang Minke mengalami bagaimana ia mudah menjadi kagum pada satu hal baru. Setelah itu, kekaguman itu dapat pindah ke hal lain. Ia selalu berpikir untuk mencoba-coba untuk mengenal dunia yang ia hadapi dan sekaligus mencari identitas sebenarnya. Di dalam proses ini beruntunglah Minke karena memiliki orang-orang yang mendukungnya, membuatnya memiliki konsep yang benar untuk dapat berhasil, sehingga ia tidak mudah pasang dan surut terlalu ekstrim pada konsep yang ia buat sendiri. Semua mengarah pada peningkatan kemampuannya untuk menghargai orang berdasarkan individu itu sendiri. Meskipun demikian, di buku ini belum diceritakan hingga tuntas akhir dari perjalanan mencari jati diri yang dilakukan Minke.

2. Bumi Manusia: Sebuah Narasi Pribadi Kolektif

Perasaan merasa dibutuhkan tampaknya menjadi manipulasi manusia pada umumnya. Minke secara khusus pun perlu untuk merasa dibutuhkan agar ia dapat menjalankan kehidupannya dengan optimis. Sebut saja Annelies berperan sebagai seorang kekasih yang amat membutuhkannya, yang akan sakit jika tidak bersamanya, yang bersedia mendengarkan dongengnya atau mungkin hanya sekedar berpura-pura mendengar untuk membuatnya senang. Peran Nyai Ontosoroh sebagai mama angkat yang melebihi peran ibunya sendiri. Juffrouw Magda Peters yang suka memberikan pujian akan tulisannya, satu-satunya teman yang tidak menjauhinya ketika ia dijauhi. Jean Marais mantan serdadu yang cacat dan kini tekun melukis bersama puterinya May, yang mengharapkan kunjungannya untuk bertamu ke rumah mereka. Pengalaman orang lain yang diadopsi menjadi pengalaman sendiri sehingga membangun konsep yang benar mengenai manusia dan manusia lain. Yang ia dapat dari Annelies saat mempekenalkannya akan hubungan manusia dan binatang peliharaan, seperti kuda misalnya. Annelies sempat mengatakan,”Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekalipun dia hanya seekor kuda.”(2002: 32). Sketsa karya Jean Marais yang melukiskan seorang serdadu kompeni sedang menginjakan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada korbannya. Hendak membunuh dan hendak dibunuh.(bdk.2002: 53) Konsep berpikir Maiko seorang pelacur Jepang masa itu untuk mengumpulkan uang di negeri orang dan akan pulang untuk menikahi kekasihnya Nakatani.(bdk. 2002:188). Yang tidak kalah penting cerita Nyai Ontosoroh mengenai bagaimana Herman Mallema dengan sabar mengubah Nyai Ontosoroh hingga menjadi Nyai yang berpendidikan tanpa melalui bangku sekolah.

Pengalamannya bersama the others membuat Minke menyadari bahwa problem setiap manusia itu sama. Ia tidak lagi menjadi orang Jawa yang gumunan atas teknologi Eropa. Di Bumi Manusia, juga ada Annelies yang bercita-cita menjadi bangsa ibunya, kaum bumiputera. Robert Mallema yang ingin menjadi bangsa Eropa murni, bukan Indo. Maurits Mallema yang dendam pada keluarga ibu tirinya, karena merasa ditelantarkan ayahnya. Iri pada keluarga bumiputera yang dipandangnya rendah.(bdk. 2002: 373, 384). Semua itu membuat cara berpikir Minke menjadi matang untuk ukuran jaman itu. Apa yang dipaparkan ini adalah bentuk yang saya sebut sebagai Narasi Pribadi Kolektif. Narasi ini menjadi bentuk pengalaman pribadi yang dipergunakan sebagai pertemuan dari pengalaman bersama. Dengan begitu, pengalaman-pengalaman itu membuat orang semakin kuat tanpa harus melalui semua pengalaman itu dalam hidupnya sendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Minke tidak perlu mengalami semua peristiwa yang dialami orang-orang di luar dirinya. Melalui pertemuan-pertemuannya dengan beberapa tokoh yang singgah dalam hidupnya, ia justru diisi sehingga eksistensinya semakin berisi. Bahkan hal ini pun tidak terjadi secara sepihak saja. Kita tahu bahwa Annelies pun misalnya, memiliki harapan akan masa depan melalui pertemuannya dengan Minke. Kedua-duanya saling mengisi dan menjadi sebuah narasi yang tidak dapat terbelah begitu saja.

3. Refleksi Bumi Manusia dan Pertanyaan tentang Manusia

Kepada saya, Bumi Manusia berbicara tentang sebuah ajakan untuk menjadi Minke. Bagaimanakah dalam dunia Minke kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di Bumi Manusia yang sesungguhnya. Hal demikian dapat dipahami karena bagaimanapun juga karya sastra yang bersifat fiktif selalu menjadi nyata ketika proses kehidupan mulai direnungkan. Tentu saja dalam hal ini akan berbeda cara mengapresiasikannya antara pribadi satu dengan yang lain. Pertanyaan terbesar dari sang Bumi Manusia yang dapat saya tangkap adalah, “Bagaimanakah hubungan antara Manusia dan Manusia lain yang sama-sama anak Bumi ketika salah satu dari mereka harus disudutkan oleh batas-batas yang seringkali tidak dapat ditoleransi oleh kemanusiaan itu sendiri?” Bukankah, telah disabdakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin menjadi baik dan semakin baik?. Apabila dalam perannya seseorang merasa bersalah, ia benar-benar berniat kembali melakukan hal baik, diberi kesempatan, dan belum tentu ia menjadi baik. Namun, bila seseorang berpikir bahwa dirinya mempunyai konsep sendiri untuk menjadi baik, beri ia kesempatan. Yang ada hanya kemungkinan keberhasilan yang lebih. Tetapi tidak ada yang tahu apakah ia akan berhasil.

Setelah mendapatkan konsep yang benar, hal berikutnya yang dibutuhkan manusia adalah faktor lingkungan. Setiap manusia hanya berharap lingkungannya bersedia menerima perubahannya secara perlahan. Tidak ada manusia yang sengaja menyembunyikan perbuatannya. Seperti saat kita malu, tidak ingin orang lain tahu masalah keluarga kita. Setiap manusia hanya melindungi dirinya sendiri dengan tidak mengatakannya kepada orang lain.

Pertanyaan bagi kita? “Apakah kita akan mentoleransi batas-batas kebenaran yang dimiliki orang lain?” Sebuah arti yang sama dengan berpikir positif bahwa dalam diri orang lain juga ada kemungkinan bahwa ia akan mentoleransi batas-batas kebenaran kita. Mungkinkah di Bumi Manusia saat ini, “Masa depan alternatiflah yang telah menjadi sejarah sebenarnya.

“Apakah masa depan merupakan sebuah jalan cerita yang dimana selalu terdapat jalan cerita alternatif, yang sebenarnya adalah sejarah yang sesungguhnya? Apakah sejarah sesungguhnya yang lebih baik, impian akan baik yang kita buang sendiri?

Ketika kita memperkirakan sebuah penilaian mengenai benar atau salah, bukankah yang diuji sebenarnya adalah bagimana cara pandang kita terhadap batas-batas kebenaran orang lain. Pertanyaan yang terus timbul,”Mungkin saja dalam tindakan yang dilakukan orang lain tersebut, batas-batas kita akan dilecehkan, dilanggar.”

Pertanyaan ini menghantui kita dan menghasilkan jawaban, “Pasti” di dalam kepala kita. Ketika mencapai posisi demikian, lupalah kita bahwa komposisi pikiran di Bumi Manusia itu sama, di dalam diri orang yang kita anggap sebagai musuh kita, orang tersebut pun akan berpikir,”Apakah dia akan menghargai batas-batas yang saya anut, atau ia akan melanggar, menghancurkannya.” Minke sendiri pun mencoba untuk memahami dan mentoleransi batas-batas di luar dirinya. Dengan cara seperti itu ia menjadi tidak eksklusif. Ia membuka dirinya pada dunia. Ini juga berarti bahwa ia mau menerima segala konsekuensi atas eksistensi dirinya dan menghargai eksistensi yang lain.

Memang, ada istilah,”Menyerang adalah pertahanan terbaik” ini memang berlaku di semua mahkluk di Bumi Manusia, tetapi bukankah kitalah sebenarnya yang melanggar batas-batas orang lain, kitalah yang menjadi penjahat yang melakukan kejahatan di diri orang lain.

Sekarang, bagaimanakah jika kita mencoba berpikir sebagai pihak yang melakukan kejahatan? Dalam proses melakukan sesuatu selalu proses yang sama yang berawal dari konflik di dalam diri si manusia, lahirnya niat, lalu perencanaan (baik jangka panjang maupun jangka pendek), lalu ada moment sebelum melakukan hal yang dapat dianggap kejahatan tersebut, sampai akhirnya event dimana kejahatan tersebut terjadi. Bukankah dalam setiap bagian proses mulai dari konflik di dalam dirinya sendiri, niat, perencanaan, hingga moment sebelum terjadi, manusia selalu memiliki pilihan untuk memilih?

Kembali ke saat kita mengkhayalkan sebuah kemungkinan yang dapat saja merugikan kita di masa mendatang. Kita melakukan sebuah tindakan pencegahan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa kejahatan itu terjadi karena kejahatan baru yang sebenarnya kita lakukan untuk melindungi diri kita. Dimana tanpa adanya tindakan pencegahan yang kita lakukan, kejahatan yang merugikan kita sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa tahu masa depan yang sebenarnya adalah apa yang kita impikan saat ini. Masa depan yang menjadi tempat bagi manusia untuk tidak sulit berbuat baik.

Mari bertoleransi, sebagai Sang Manusia di Bumi Manusia. Tak peduli, baik menang atau kalah dalam sejarah yang memiliki daya menggilas, melindas. Paling tidak kita telah mampu bertahan untuk tetap menolak pada penggusuran batas-batas yang kita anut. Bukankah kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan untuk mengalahkan kekalahan kita sendiri? Rendah hati, mengatasi ketakutan, ketidakpuasan, kesombongan untuk tidak menang seperti Minke yang merasa dirinya bukan monyet. Selamat menjadi Minke. Jakarta, 2 Oktober 2003 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/1777

Leave a comment

Filed under Analisis Sastra

Sabai nan Aluih

Judul : Sabai nan Aluih

Pengarang : M. Rasjid Manggis Dt. R. Penghulu

Penerbit : Kritas Multi Media/ Cetakan III Januari 2008

Rajo nan Panjang adalah sahabat akrab Rajo Babandiang, melamar Sabai nan Aluih hendak dijadikan istrin mudanya. Lamaran itu ditolak oleh Raja Babandian, karena sahabatnya itu sudah berusia lanjut dan ia pun bergemar beristri banyak.

Penolakan ini dijawab oleh Rajo nan Panjang dengan mengajak Rajo Babandiang berkelahi. Rajo Babandiang tewas dalam perkelahian itu karena ditembak dari belakang oleh Rajo nan Kongkong.

Bagaimana tindakan Sabai nan Aluih untuk menuntut balas atas kematian ayahnya ini? Silahkan Anda simak terus jalan ceritanya.

Leave a comment

Filed under Resensi

Kaba Si Buyuang Karuik

Judul : Kaba Si Buyuang Karuik

Pengarang : Sjamsudin St. Radjo Endah

Penerbit : Kristal Multi Media, Cetakan II/ Januari 2008

Semenjak meninggalkan kampung halaman, penderitaan demi penderitaan dijalani oleh Si Buyuang Karuik dengan adiknya, Siti Syamsiah dengan penuh kesabaran. Sampai mereka dipisahkan oleh nasib masing-masing.

Nasib jugalah yang menemukan mereka kembali sebagai suami istri. Bagaimana perjalanan hidup kedua anak manusia ini? Bagaimana mereka menghadapi kenyataan ini. Untuk menjawabnya, Anda harus membaca buku ini.

Leave a comment

Filed under Resensi

“TRANSKRIPSI TEKS LAGU DALAM KLIP VCD MINANG”

Oleh Suryadi

Sejak beberapa tahun belakangan ini saya melakukan penelitian yang cukup mendalam mengenai seluk-beluk industri rekaman daerah di Sumatera Barat dalam rangka menulis disertasi di Universitas Leiden dengan judul proposal: ‘The Cultural Significance of the Regional Recording Industry and Minangkabau Commercial Cassettes in West Sumatra, Indonesia’. Penelitian itu, dengan pendekatan studi budaya (cultural studies) dan studi media (media studies), mencakup teks dan konteks kaset-kaset komersial Minang dan unsur-unsur yang terlibat dalam kemunculan dan perkembangan perusahaan-perusahaan rekaman daerah di Sumatera Barat sejak zaman piringan hitam sampai era VCD.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Sumatera Barat adalah inti (core) industri rekaman daerah di Indonesia bagian barat, bahkan mungkin yang paling menonjol di luar Jawa (Barendregt 2002; Suryadi 2003). Industri rekaman daerah Sumatera Barat telah mempengaruhi perkembangan musik pop Minang dan genre-genre tradisional lainnya, menimbulkan dinamika pada seni (pop) daerah-daerah sekitarnya (seperti daerah Kampar yang terkenal dengan kaset-kaset Ocu-nya yang kebanyakan direkam di Padang dan Bukittingi (Suryadi 2005).

Berkat perkembangan industri rekaman daerah Sumatera Barat, pop Minang menjadi dikenal di level nasional dan diapresiasi juga oleh etnis-etnis lain di luar etnis Minang—ingat misalnya lantunan lagu-lagu Minang oleh Betharia Sonatha dan Edy Silitonga). Banyak album pop Minang yang direproduksi dengan legalisasi Pemerintah Malaysia dan diedarkan di negara itu (Suryadi 2007).

Karena terbatasnya ruang, artikel ini tidak menguraikan aspek teoretis dan temuan-temuan empiris seputar industri rekaman daerah Sumatera Barat, tetapi lebih difokuskan kepada satu aspek intrinsik VCD karaoke Minang, yaitu transkripsi (tampilan visual) teks lagu-lagu dalam VCD Minang.

Setelah menonton puluhan VCD Minang, khususnya album-album pop Minang, saya sampai kepada kesimpulan bahwa proses produksi VCD itu, yang jumlahnya mungkin puluhan ribu, atau mungkin lebih, tampaknya agak mengabaikan unsur kebahasaan.

Proses pengeditan unsur visual dalam VCD karaoke Minang, khususnya yang terkait dengan transkripsi—pemindahan dari lisan ke tulisan—teks lagu-lagu dalam banyak album pop Minang, tampaknya tidak (pernah) melibatkan bahasawan. Akibatnya, cukup banyak ditemukan kesalahan leksikal dan gramatikal dalam transkripsi teks-teks lagu dalam banyak VCD Minang.

Beberapa kesalahan atau ketidakkonsistenan penulisan dalam trankripsi itu yang sudah saya identifikasi adalah: penulisan huruf pertama kalimat, nama orang, gelar, jabatan, dan nama tempat tidak memakai huruf besar; penulisan awalan (tunggal maupun ganda) dan akhiran dipisahkan dari kata dasarnya; penulisan kata depan digabungkan dengan kata yang mengikutinya; penulisan partikel ‘Si’ digabungkan dengan kata yang mengikutinya; dan penulisan partikel ‘lah’ dipisahkan dari kata yang diikutinya.

Sekedar contoh untuk melihat kesalahan-kesalahan di atas, berikut saya sajikan transkripsi teks lagu “Dendang jo Tari” (lagu no.5) dalam VCD 12 Karya Emas Legendaris; Tari & Lagu Yusaf Rahman oleh Sanggar Tari Syofyani (vokalis: Vika Ardi; Padang: Tanama Record, tanpa tahun). Di dalam tabel, kesalahan-kesalahan penulisan (lihat kursif) ditaruh di kolom sebelah kiri, sementara di kolom sebelah kanan dijelaskan penulisan yang sebenarnya yang diberi tanda garis bawah.

Pada tataran leksikal sering juga ditemukan kesalahan penulisan yang tentu saja dapat mengelirukan makna. Demikianlah umpamanya, dalam album yang sama tertulis secara visual di layar televisi “…tuanku basah / basah batuah, kanduang” yang maksudnya adalah “Tuanku Basa / Basa Batuah, Kanduang” (lagu nomor 1: “Tari Pasambahan”) dan “…kasiah bakisah kami ndak tahu”, yang maksudnya adalah “…kasiah bakisa kami ndak tahu” (lagu nomor 9: “Tari Patenggangkan”) (kursif dan garis bawah oleh Suryadi).

Dalam VCD Album Kocak Edi Cotok dkk. (Bukittinggi: Minang Record, tanpa tahun) kesalahan penulisan itu lain lagi: huruf pertama pada setiap kata ditulis dengan huruf besar, seperti dapat dilihat dalam kutipan teks lagu ketiga, “Nasib Seniman”: “…Oi Adiak Niniang Lai Dentau (sic) / Jikok Rasaki Indak Bapintu / Mangko Den Jago Lah Tinggi Hari / Bakureh Malam Sampainyo Pagi” (kursif oleh Suryadi).

Hemat saya, kesalahan leksikal dan gramatikal pada transkirpsi teks-teks lagu dalam VCD Minang itu akan dapat dihilangkan apabila proses editing-nya juga melibatkan pula bahasawan. Saya kira kesalahan-kesalahan tersebut disebabkan tidak ada pemilahan antara aspek kelisanan dan keberaksaraan ketika pelaku industri rekaman daerah Sumatera Barat memproduksi VCD-VCD Minang. Yang harus diingat adalah bahwa begitu teks lagu-lagu itu dituliskan, kita mesti tunduk kepada dan taat azas mengikuti sistem ortografi Bahasa Minang (lihat Lukman Ali dkk.1990).

Ke depan, transkripsi teks lagu-lagu yang akan ditampilkan dalam video klip VCD karaoke album-album pop Minang seharusnya dibuat dengan sebaik mungkin dengan berpedoman kepada sistem ortografi (ejaan) yang berlaku. Dengan begitu, berarti pelaku industri rekaman daerah telah ikut memberi kontribusi positif mereka bagi pengembangan dan pelestarian Bahasa Minangkabau. Jika kesalahan itu terus berlanjut bukan tak mungkin akan berdampak negatif kepada kebudayaan dan Bahasa Minang, mengingat lagu pop Minang diapresiasi oleh orang Minang secara luas, baik di ranah sendiri maupun di rantau, dan juga oleh masyarakat di luar etnis Minangkabau.

Kerja yang baik para pelaku industri rekaman daerah Sumatera Barat dalam soal editing transkripsi teks lagu-lagu dalam VCD Minang, secara langsung atau tidak, ikut membantu proses standardisasi dan ‘pemeliharaan’ Bahasa Minang. Lagu-lagu daerah seperti pop Minang adalah salah satu inang bagi pengembangan dan pemertahanan penggunaan bahasa daerah, baik dalam arti lisan maupun tulisan. Kreasi prima dari para pelaku industri rekaman daerah Sumatera Barat, yang tidak mengabaikan aspek-aspek kebahasaan yang terkait dengan produk yang mereka hasilkan (dalam hal ini VCD), sacara langsung atau tidak, tentu akan memberi sumbangan yang amat bernilai bagi keberlangsungan eksistensi kebudayaan Minangkabau.

Rujukan

Ali, Lukman, dkk. 1995. Pedoman Ejaan Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Barendregt, Bart. 2002. B2002. “The sound of ‘longing for home’; Redefining a sense of community through Minang popular music”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158-3: 411-450.

Suryadi. 2007. “Transnasionalisasi muzik Indonesia; Makna kultural dan fungsi sosio-politik resepsi muzik pop Minang di Malaysia”, Jurnal Wacana Seni vol. 6: 1-30..

Suryadi. 2005. “Media, identity, and the margins: Radio in Pekanbaru, Riau (Indonesia)”, Journal of Southeast Asian Studies 36.1: 131-151.

Suryadi. 2003. “Minangkabau commercial cassettes and the cultural impact of recording industry in West Sumatra”, Asian Music 32.2: 51-89.

Cotok, Edi, dkk. tt. Album Kocak. Karnslay: Kandua Salayang. Bukittinggi: Minang Record.

Sanggar Tari Syofyani. tt. 12 Karya Emas Legendaris; Tari & Lagu Yusaf Rahman. Padang: Tanama Record

Leave a comment

Filed under Retorika

PAK FATH…

“Saya berharap acara ini bisa menjadi salah satu jalan kreatifitas mahasiswa Sastra di masa depan. Selamat dan semoga berhasil.”

Suara datar mengalun mengakhiri pidato itu. Hentakan drum yang ditabuh sebagai “gong” resmi pembukaan acara mengiringi akhir pidato datar di pagi itu. Sambil menyalami si pemain drum, laki-laki parobaya yang tadi berpidato itu menuruni tangga dan segera dikerubuti mahasiswa yang telah menunggu di bawah panggung. Usai menyalami para mahasiswa yang mengerubutinya, ia pergi. Dan acara musik dengan segala hingar bingarnya menyeruak sampai sore. Aku pun tenggelam dalam alunan nada-nada yang dibawa peserta yang kadang keras, tapi sering juga lembut, tanpa bisa menangkap kata-kata ataupun artinya. Yah, apa pula pentingnya memahami semuanya. Yang penting happy dan melupakan segalanya, termasuk lelaki parobaya tadi, Pak Fathurrahman.

Perkuliahan bagi kami mahasiswa baru angkatan 1997 telah mulai bulan September. Berada di lingkungan baru, minggu-minggu awal perkuliahan lebih banyak habis berkenalan satu sama lain; senior dan mahasiswa jurusan lain. Apa mata kuliah dan siapa dosen pengasuhnya tak terlalu mendapat perhatian kami. Semuanya kelihatan sama.

“Ada pertanyaan?” Tiba-tiba suara dengung di belakang kursiku hilang. Ya, suara Pak Fathurrahman—biasa dipanggil Pak Fat—mengagetkan kawan-kawan. Tak terdengar suara lagi. Hening. Kawan-kawan merasa Pak Fat telah terganggu oleh bisik-bisik kami.

“Baiklah, kita lanjutkan,” seru beliau ketika melihat tak ada di antara kami mengacungkan tangan untuk bertanya. Dengan bersemangat beliau kembali melanjutkan ceramahnya tentang kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan sumber-sumber kebenaran ilmiah. Semua diam. Mendengarkan tanpa bisa mengerti apa maksud penjelasan beliau. Istilah-istilah seperti epistemologi, intuisi, logika, mengaliri dan mengisi ruangan kuliah filsafat dasar di pagi itu.

Semangat, senyum dan suara datarnya yang menggema di sudut-sudut ruang kuliah tak sebanding oleh ke-cuek-an kawan-kawan. Kehadirannya di ruang kuliah bagaikan “suara sunyi” yang tampak menyedihkan.

Potongan celana gaya lama, baju kemeja longgar dan potongan rambut tahun ’70-an yang cuma kami temukan pada personel The Beatles seakan memisahkannya dengan kami.

Bagi sebagian kami, situasi kuliah dasar filsafat agak sedikit tak mengenakan. Dua kata dari beliau seperti kutukan yang ingin kami hindari; “Ada Pertanyaan?”

Tak tega juga melihat setiap “dua kata” itu dilontarkan yang ada hanya tampang-tampang memelas, seakan memohon. Memohon agar ada yang bertanya atau Pak Fat jangan mengucapkannya, karena pasti tak akan ada yang mau bertanya. Akhirnya satu-satu dari kami berani juga bertanya. Entah tanya arti kata seperti epistemologi atau sekedar berucap apa saja, yang penting bersuara sehingga beliau merasa tak terlalu dicuekin. Tapi kadang pertanyaan kami malah membingungkan beliau.

“Maaf, bisa diulang lagi. Saya tak paham maksud pertanyaan Saudara,” kata beliau satu waktu yang disambut ketawa riuh kawan-kawan.

Luar biasa, kan? Ahli filsafat bingung dengan pertanyaan mahasiswa tahun satu? Meskipun begitu, beliau tampaknya berusaha juga menjelaskan dari awal, kalau-kalau pertanyaan itu menyangkut di awal materi. Dan teman yang bertanya tadi tampak mengangguk-angguk seakan mengerti dan puas pertanyaannya telah dijawab. Takut juga kawan tadi kalau tak begitu. Takut diminta menjelaskan lagi.

***

Kabut asap disertai cuaca panas menyapa negeri ini di awal tahun 1998 itu. Musim kemarau panjang diimbangi oleh kegagalan panen di beberapa daerah. Di kampus kami, alunan nada grup musik anak muda yang lagi naik daun mengalir dari mulut-mulut mahasiswa. “O…damainya hatiku. Kala mentari bersinar lagi…”

Namun isyarat kedamaian itu jauh dari harapan mereka, ketika orang tua mereka mulai mengeluh terhadap tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Penangkapan beberapa aktivis mahasiswa dan panasnya hembusan angin perpolitikan nasional makin mencekam perasaan tenang orang tuaku ketika mengetahui aku juga mulai bicara politik. Lirik penuh makna kelompok Scorpion, Wind of change, tampak menari-nari di horison negeri ini. Di tengah situasi itulah, semester dua aku lewati sebagai mahasiswa baru.

Kembali pria old fashion itu datang mengisi ruang-ruang kuliah kami yang masih beraliran filsafat. Suara dengungan kami yang berbisik-bisik berokestrasi dengan penjelasan-penjelasan tokoh-tokoh filsafat dari Pak Fat.

“Descartes dan Spinoza adalah penyumbang terbesar selanjutnya terhadap filsafat di abad ke-17. Bagi Descartes semua benda di alam semesta bisa dipahami secara jelas dan terang oleh rasionalitas manusia. Doktrin cartesian, saya berpikir maka saya ada, menjadi api bagi tumbuhnya renaisance di Eropa. Berbarengan dengan Spinoza yang menyatakan manusia bebas untuk berpikir dan berkepercayaan, perlahan angin perubahan melanda masyarakat Barat, dan mendapat tempat di Perancis.

Perancis merupakan sarang bagi pemikiran-pemikiran progresif dan anti gereja. Keberadaan tokoh-tokoh pemikir ini di Perancis mencetuskan sebuah pemberontakan menentang gereja dan tirani sehingga melahirkan apa yang kita kenal kini dengan “Revolusi Perancis”. Revolusi Perancis jelas berdampak pada penyebaran ide-ide kebebasan, persamaan dan kemerdekaan individu terhadap kekangan sekolompok penguasa atas nama negara atau agama.

Situasi di negeri kita jelas akan menumbuhkan iklim perubahan sebagaimana halnya di Perancis dulu. Kesulitan ekonomi rakyat berbarengan kemewahan para pejabat negara hingga melahirkan kebencian di level bawah. Persoalannya akankah perubahan yang telah di depan mata itu mengulang apa yang terjadi di Perancis dua abad lalu? Bagaimana pendapat, Saudara?”

Tak ada suara.

“Baiklah, kita lanjutkan minggu depan.” Pak Fat tergesa-gesa keluar ruangan kuliah. Kami

Leave a comment

Filed under Cerpen-Puisi

Sajak-Sajak Vie

Air Mata Bunda

Darah ini air mata bunda

di sini kami membasuh luka

dengan setetes cuka

biar gelak tetap terbahak

menatap wajah sang bapak

di sini kami meronta

pada kata-katamu yang gila

pada debaran jantung dunia

darah ini air mata bunda

meruap dalam nada-nada resah

menggejolakkan sisa-sisa perapian

dari sudut ruang hampa

dari ridu pada kerinduan

Pematang Usang Milik Sikumbang

Aku kembali pulang dari gudang zaman

berlari dalam lagu ragu

di pematang usang milik sikumbang

sambil menyemai sisa-sisa lasi

yang bertebaran di kulit-kulit goni

walau gersang merangkah tanah

ada cagkul tua maja kulun

berdendang untuk sebuah rindu

pada jejak-jejak mamak

untuk jejak-jejak bundo kanduang

Mencabik Cerdik

Kami datang dengan seikat kuncup

menjemput bahasa berbudaya

di tengah megahnya retorika

di dalam kegelapan makna

berharap menemukan sebuah kata

barangkali ini susah

karena kami sering gelisah

menguak kebisingan menggelegah

Pagi dan beberapa helai ribuan

menghantarkan kami pada bangku-bangku bis kota

sementara topik keilmuan menjalar

pada detik yang berlayar

berpacu dengan nafas dunia

Pak, ini bunga ragu berfatwa

terpaksa melepas gentar dengan kelakar

disudut meja-meja bundar

yah,

setidaknya ada talempong pelepas jengah

dari bangku yang tak berubah

bengkalai itu akhirnya tetap diteriakkan pilu

menyedihkan ternyata

bahwa kian hari kian lelah bermahkota

lumpur jalan tadi sisakan perih di kaki kami

desah kecil kembali terisyaratkan

persis selambar kertas putih kusam

sadar akan diri kami segera ditulis

dibaca berulang untuk kemudian dibuang

kami simpan sindiri perih luka tak berdarah

Indonesia tak berarah

timbangan rasa tentu,

ketika alunan itu semakin menyesak

memanggil ayunan langkah-langkah kecil dulu

kian tak terarah

berat, bak lunglainya langkah onta menapaki zahara

duduk pun terbawa gelisah

sementara tegak berarti kacak mendongak

melawan perih manusiawi

bengkalai itu kemudian kau pajang

dan gusung menjulang

jelang hari esok yang semakin tak menentu

Dosa Siapa

dalam kantong hitam kresek sebuah bayi tersobek

ari-arinya menjalar pada tanah becek

anjing kurap krempeng mengendus-endus dosa

gadis belia

di pojok trotoar kumuh

seonggok sampah menyelimuti orok.

belum sempat berteriak: ‘oo waak..!!!

belum sempat mengenyam susu emak

kucing betina termangu menelan amis

ingatannya melayang, perut boyoknya menjadi

bayang:

aku telah mandi pada mani tak berbudi

akan bagai mana anakku nanti?

Menunda Derita

Asap senja nyeleneh dari sela dinding tadir dangau

lusuh

reranting yang sedari pagi dipungut tangan renta itu

tak jua bersilang, membara dalam tungku

tak ada minyak tanah di botol limun

sementara kerongkongannya tak sabaran menunggu

seteguk air

membasahi luka hati yang nyaris bernanah

air liurnya mengental merajut sisa-sisa enzim

diharap mampu membelalakkan mata

biar esok masih ada suara

dari sudut dalam dangau tua itu, ada batuk nyeletuk

dahaknya menebal pada bandur kebal

yang setia menemani tubuh tunggal nyaris terjungkal

terkadang suara cucunya riuh

menyanyikan lagu burung kakak tua:

“burung kakak tua hinggap dijendela

nenek sudah tua giginya tinggal dua”

Cu..

gigi nenek sudah tidak ada:

Jerit jengkel nenek menunda derita

Leave a comment

Filed under Cerpen-Puisi

Pola Lama di dalam Sastra Modern: Malin Kundang di dalam Salah Asuhan dan Sabai Nan Aluih di dalam Sitti Nurbaya

Oleh: Amran Tasai
Universitas Indonesia

Tesis ini mengungkapkan kesamaan motif cerita rakyat Malin Kundang dengan novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan kesamaan motif cerita rakyat Sabai Nan Aluih dengan novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Malin Kundang mengisahkan kedurhakaan tokoh Malin Kundang yang tidak mau mengakui ibunya yang berpakaian compang-camping. Demikian pula, novel Salah Asuhan mengisahkan Hanafi yang tidak hendak mengakui dirinya sebagai orang Minangkabau, orang Indonesia, bahkan dia meresmikan dirinya sebagai orang Belanda. Kedurhakaan Hanafi terhadap Ibu Pertiwi, tanah airnya, kampung halamannya, dan ibunya sendiri merupakan motif yang sama dengan motif perilaku Malin Kundang. Di samping itu, ada pula motif yang sama antara Malin Kundang dan Salah Asuhan, yaitu tokohnya (Mali Kundang dan Hanafi) sejak kecil atau ketika masih muda hingga dewasa berada di tanah perantauan. Malin Kundang meranatu dalam usaha mencari harta, sedangkan Hanafi merantau dalam usaha mencari ilmu. Kemudian, motif yang sama juga terlihat pula, yaitu motif percintaan. Baik Malin Kundang maupun Hanafi, keduanya mencintai orang yang berada di luar Minangkabau. Motif lain yang sama adalah sifat tokoh-tokohnya, seperti ibu Malin Kundang dengan ibu Hanafi yang keduanya sangat menyayangi anaknya. Sabai Nan Aluih mengisahkan gadis cantik, Sabai Nan Aluih, anak dari Rajo Babanding yang membela nama baik ayahnya. Dia menentang Rajo Nan Panjang (yang telah menghancurkan ayahnya) untuk berperang tanding karena Rajo Nan Panjang telah membunuh ayahnya, Rajo Babanding. Dia berhasil membunuh Rajo Nan Panjang. Demikian pula, Sitti Nurbaya membela nama baik ayahnya dengan bersedia menikah dengan Datuk Maringgih (Orang yang menghancurkan ayahnya), mengusir Datuk Maringgih, dan membunuhnya melalui tangan Samsul Bahri. Kesamaan motif itu juga terlihat pada motif peminangan. Rajo Nan Panjang meminang Sabai Nan Aluih untuk dijadikan istrinya. Hal yang sama terjadi juga pada Datuk Maringgih yang meminang Sitti Nurbaya untuk dijadikan istrinya. Motif yang lain adalah motif pencurangan. Pada saat Rajo Babading berperang dengan Rajo Nan Panjang, Rajo Nan Kongkong menembak Rajo Babanding dari belakang. Pencurangan seperti itu terjadi pula pada diri Bagindo Sulaiman (ayah Sitti Nurbaya) oleh Datuk Maringgih. Datuk Maringgih membakar semua gudang Bagindo Sulaiman dan meracuni semua pohon kelapa Bagindo Sulaiman sehingga Bagindo Sulaiman melarat. Kesamaan motif juga terlihat pada kesamaan sifat tokoh Sitti Nurbaya dengan Sabai Nan Aluih, Bagindo Sulaiman dengan Rajo Babanding, dan Datuk Maringgih dengan Rajo Nan Panjang. Tesis ini membuktikan bahwa novel Salah Asuhan “dipengaruhi” oleh cerita Malin Kundang dan novel Sitti Nurbaya “dipengaruhi” oleh cerita Sabai Nan Aluih.

Leave a comment

Filed under Dari Perbendaharaan Skripsi

Sastra Minangkabau Modern:Antara Ada dan Tiada

Suryadi

Istilahnew-picture-3 “Sastra Minangkabau Modern” muncul dalam SMS yang saya terima dari Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Dra. Adriyetti Amir, SU, yang memberitahukan bahwa kiriman off-print artikel saya, “Vernacular Intelligence: Colonial Pedagogy and the Language Question in Minangkabau” (Indonesia and the Malay World 34:100, 2006: 315-44) telah beliau terima. “Saya minta Suryadi juga menulis sesuatu tentang Sastra Minang Modern. Itu diperlukan untuk bahan pelajaran di Jurusan Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra UNAND,” kata Dra. Adriyetti Amir, SU dalam SMS-nya kepada saya.

Sudah sejak beberapa tahun yang lalu saya berencana menulis satu artikel untuk konsumsi internasional – kalaulah tidak akan menghasilkan sebuah buku – tentang fenomena dan perkembangan Bahasa dan Sastra Minangkabau sejak tahun 1970-an sampai tahun 2000-an. Namun karena kesibukan sehari-hari mengajar di Universitas Leiden, rencana itu agak terbengkalai. Hal itu menjadi terpikirkan kembali setelah saya menerima SMS Dekan Fakultas Sastra UNAND itu.

Artikel pendek ini lebih merupakan ajakan kepada akademikus di Sumatra Barat untuk memperkatakan Sastra Minangkabau Modern. Sebuah disksusi budaya atau seminar ilmiah mengenai hal ini kiranya patut diadakan dalam rangka memikirkan masa depan Bahasa, Sastra, dan Budaya Minangkabau. Di sini saya mencoba menyampaikan pemikiran saya tentang Sastra Minangkabau Modern berdasarkan bahan-bahan yang sudah saya kumpulkan dan berdasarkan penelusuran kepustakaan yang sudah dan sedang saya lakukan.

Sejauh yang saya ketahui belum ada penelitian yang mendalam tentang fenomena dan perkembangan Sastra Minangkabau sepanjang seperempat terakhir abad ke-20 dan dekade pertama abad ke-21 yang sedang kita jalani ini, dalam artian bagaimana fenomena Sastra (dan Bahasa) Minangkabau itu dalam hubungannya dengan budaya cetak dan media pandang-dengar modern yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari orang Minang sekarang. Apakah Sastra Minang berkembang mengikuti perubahan sosial masyarakat Minangkabau sendiri?

Satu di antara amat sedikit peneliti yang pernah mengamati perkembangan Sastra Minangkabau tahun 1970-an dan 1980-an, lisan maupun tulisan, adalah Nigel Phillips. Beliau telah menulis beberapa artikel mengenai hal ini, yaitu “Notes on Modern Literature in West Sumatra” (Indonesia Circle 12,1977: 12-20); “’Kotaku Sayang, Wahai Kotaku’: A Poem by Rusli Marzuki Saria, Introduced and Translated by Nigel Phillips (Indonesia Circle 13, 1977: 26-32); “Minangkabau Languages and Literature”. In E. Ulrich Kratz (ed.), Southeast Asian Languages and Literature: A Bibliographical Guide to Burmese, Cambodian, Indonesian, Javanese, Malay, Minangkabau, Thai and Vietnamese. London: I.B. Tauris, 1996, pp. 291-308; dan “Two Minangkabau Short Stories by Nasrul Siddik, introduced and translated by Nigel Phillips” (Indonesia and the Malay World 77, 1999: 64-71).

Nigel Phillips juga mengamati tema-tema baru dalam beberapa kaba Minang yang diceritakan dalam tradisi rabab Pasisia (gaya baru) dan dendang Pauah serta pengaruh hubungan tukang kaba (storyteller; singer) dan khalayak (audience) terhadap teks cerita (kaba), seperti dapat dikesan misalnya dalam artikelnya “Some Ideas Expressed in Minangkabau Oral Story” (Tenggara 21/22, 1988: 171-84); “Two variant Forms of Minangkabau Kaba”. In J.J. Ras and S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literature in Honour of A.Teeuw (Leiden: KITLV Press, 1991: 73-86); “A Note on the Relationship between Singer and Audience in West Sumatran Story-telling” (Indonesia Circle 58, 1992: 67-70); dan “Perhubungan antara Tukang Rebab ‘Gaya Baru’ dengan Pendengarnya”. Dalam Sahlan Mohamad Saman (ed.), Pengarang, Teks dan Khalayak (Kuala Lumpur: DBP, 1994, hlm. 196-202). Selain itu, ada satu artikel dari Edwin Wieringa, “The Kaba Zamzami jo Marlaini: Continuity, Adaptation, and Change in Minangkabau Storytelling” (Indonesia and the Malay World 73, 1997: 235-51) yang didasarkan atas transliterasi kaba itu yang dikerjakan oleh Suryadi (1993; lihat di bawah).

Menurut pendapat saya yang daif, Sastra Minang Modern, dalam artian bentuk ekspresi sastra yang eksis dalam tulisan, baik berupa novel, cerpen, atau bentuk-bentuk ekspresi lainnya (cerita bersambung, esai, komik, dll.) kurang berkembang. Ia antara ada dan tiada, atau kalau memakai ungkapan Minang: taraso lai, tampak indak. Terbitnya satu buku baru-baru ini dalam Bahasa Minang yang dapat dikategorikan sebagai karya ‘sastra’, yaitu Tigo Carito Randai oleh Musra Darizal Katik & Mangkuto (Padang: Dewan Kesenian Sumatra Barat, 2007), misalnya, tak dapat dijadikan indikator bahwa Sastra Minang Modern eksis.

Ada lusinan penulis Minang sejak zaman kolonial sampai sekarang – “Minangkabau tak akan kekurangan penulis”, demikian kata Budayawan Wisran Wadi – tapi tak banyak yang menulis dalam bahasa ibunya. Setahu saya, satu-satunya antologi cerpen yang terbit dalam Bahasa Minangkabau adalah karya Nasrul Siddik, Saputangan Sirah Baragi (Padang: Genta, 1966). Jadi, antologi ini terbit waktu saya baru berumur setahun). Antologi ini diindonesiakan oleh almarhum Mursal Esten dengan judul yang sama dan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1993.

Dalam rentang 4 dekade setelah itu tak pernah kedengaran teks sastra dalam Bahasa Minang diterbitkan. Walaupun judul novel Nazif Basir, Tersapa di Rimba Panti (Padang: Genta,1966) agak berbau “bicaro gaduang” (Bahasa Minang halus), tapi rupanya teks novel suami Elly Kasim itu ditulis dalam Bahasa Indonesia (gaya Minang?) (Kata tasapo diindonesiakan menjadi tersapa yang tak sepenuhnya dapat mentrasfer makna aslinya. Kata tasapo membayangkan subjek yang ‘menyapa’ adalah makhluk halus. Kata tersapa tidak membawa makna itu).

Walhasil, agak sulit melihat hasil nyata produk Sastra Minang mutakhir yang muncul dalam bentuk tulisan. Bentuk-bentuk ekspresi dalam Bahasa Minang ragam tulis hanya terbatas pada kolom-kolom kritik dan refleksi pendek yang terbit dalam edisi Minggu beberapa koran terbitan Sumatra Barat seperti Haluan, Singgalang, dan sekarang Padang Ekspres (Lihat dua kolom kritik dengan tokoh Jila dan Atang dan Sabai dan Mangkutak oleh Wisran Hadi yang cukup rutin muncul dan rubrik Ciloteh Minang oleh Viveri Yudy yang sayangnya sekarang sudah berhenti pula terbit).

Selain Wisran Hadi yang dikenal sebagai sastrawan dan budayawan di tingkat nasional, penulis-penulis lain kolom-kolom seperti itu, seperti Papasi Candra (saya kira ini pseudonym: ayahnya Si Chandra), Cui Indra, dan Sawir Pribadi, lebih dikenal sebagai wartawan dan penulis lokal. Seperti saya katakan, hakekat tulisan-tulisan seperti itu adalah refleksi budaya dan kritik sosial ringan sambil bagarah (juga mengandung cimeeh). Sesekali muncul dalam bentuk cerpen yang sedehana sekali. Sebelum tahun 1980-an keadaannya relatif sama: ada beberapa rubrik seperti itu dalam koran-koran yang terbit di Padang.

Malah dulu setiap koran memiliki feulleton (cerbung), tapi ditulis dalam Bahasa Indonesia, misalnya Tikam Samurai (yang kemudian dibukukan) dan HuruHara di Ngalau Kamang. Kolom-kolom seperti itu kadang-kadang ditemukan juga dalam beberapa majalah yang umumnya tak berumur panjang, misalnya majalah Kaba yang diterajui oleh Asbon Budi Nan Haza.

Di zaman kolonial lusinan koran pernah terbit di Padang – lihat misalanya Ahmat Adam, “The Vernacular Press in Padang, 1865-1913”. Akademika 7, 1975: 75-99 – namun tidak ada Koran yang seluruh rubriknya berbahasa Minang. Bahkan, media-media kaum adat seperti Oetoesan Alam Minangkabau: Sasaran Penghoeloe Medan Ra’jat (Padang: Drukkerij S[oematra Bode]; nomor pertama terbit 1939) juga tidak memamakai Bahasa Minangkabau. Majalah-majalah berbahasa daerah yang terbit rutin seperti Mangle untuk Budaya Sunda dan Jaka Lodang untuk Budaya Jawa, dimana para penulis lokal, kadang-kadang juga penulis nasional yang berasal dari etnis bersangkutan, dapat mengekpresikan ide dan pikirannya dalam bahasa ibunya sendiri, tidak pernah muncul dari rahim kebudayaan Minangkabau.

Tinggal pertanyaan: mengapa para penulis Minang enggan menulis dalam bahasa ibunya (mother tongue)? Jawabannya yang sederhana: karena mereka ingin menulis dalam bahasa yang pembacanya lebih banyak, yaitu Bahasa Indonesia. Tapi jawaban dari segi ilmiah tentu tidak sesederhana itu. Untuk memahami hal itu kita perlu mengkaji lebih jauh aspek sosio linguistik Bahasa Minang dan sejarah Bahasa Minangkabau ragam tulis, serta konvensi kesastraan Minangkabau. Dalam kaitannya dengan hal ini, menarik apa yang dikatakan Nigel Phillips kepada saya bahwa ia pernah mewawancarai penyair terkemuka Sumatra Barat, ‘Papa’ Rusli Marzuki Saria, yang mengatakan kepadanya bahwa “dia [‘Papa Rusli] ada mencoba menulis puisi dalam Bahasa Minang, tetapi kosa kata Bahasa Minang tidak mencukupi untuk menyampaikan maksudnya” (Phillips, email 27-6-2007).

Jika ditinjau dari segi isi, maka apa yang disebut Sastra Minang Modern itu – kalau memang ada – mestinya mempunyai satu ciri yang berbeda dengan yang tradisional. Kata “modern” itu tentu mencirikan sesuatu yang baru pada sebuah teks – bisa jadi konvensi penulisannya, gaya bahasa, latar cerita, tema yang diusung, dan lain sebagainya. Banyak kaba yang diterbitkan dalam bentuk buku sekarang, tapi hakekatnya tetap Sastra Minangkabau Tradisional, sebab teksnya tak lain hanyalah pemindahan dari lisan ke tulisan (kebanyakan transliterasi, sedikit yang berupa saduran). Kabakaba tertulis itu tak menawarkan suatu konvensi penulisan yang baru, dan ceritanya tetap menggambarkan latar (setting) tradisional dengan tema-tema yang bersifat supernatural dan irasional.

Dengan kata lain, munculnya sebuah buku dalam Bahasa Minang yang dapat digolongkan sebagai sastra, seperti Tigo Carito Randai-nya Musra Darizal Katik & Mangkuto itu, tidak otomatis

berarti bahwa itu hasil gubahan Sastra Minang Modern (Saya sendiri belum membaca buku itu, baru mengetahuinya melalui http://www.ranah-minang.com dan informasi Sdr. Sudarmoko; tetapi sejauh yang saya ketahui cerita-cerita randai relatif statis dan konvensional. Beberapa kajian mengenai randai, misalnya oleh Mursal Esten [1980], Margaret Kartomi [1981], Mohd Anis Md Nor [1986], Kharul Harun [1992], dan Kirstin Pauka [1995] menunjukkan bahwa kurang ada diversifikasi tema dalam cerita randai.

Yang justru lebih menarik adalah beberapa bentuk penceritaan kaba lisan yang kemudian juga banyak yang dikasetkan dan sekarang di-VCD-kan. Saya menggariswabahi di sini dua bentuk penceritaan kaba: dendang Pauah dan rabab Pasisia (gaya baru). Menarik sekali bahwa kabakaba yang diceritakan dalam kedua bentuk storytelling itu mengandung unsur ‘kemodernan’ yang sebenarnya amat menarik diteliti lebih lanjut. Kabakaba yang diceritakan berlatar dunia modern, dengan tokoh-tokohnya yang digambarkan bepergian dengan mobil, bus, atau kapal terbang, tidur di hotel. Watak tokoh-tokoh itu digambarkan juga dengan ciri kepribadian yang baru, yang lebih individualis, yang berbeda dengan watak tokoh kabakaba klasik. Unsur-unsur supernatural dan irasional juga sangat minim ditemukan dalam kabakaba tersebut.

Frase “gaya baru” yang sering dipakai oleh Syamsuddin, seorang tukang rabab Pasisia yang terkenal asal Kambang, juga mengindikasikan adanya inovasi dalam gaya bahasa dan penyampaian (Menurut Nigel Phillips [1991] ini juga semacam trick untuk menarik khalayak dan pembeli kaset-kaset rekaman rabab Pasisia). Misalnya Syamsuddin mencoba memasukkan unsur humor yang lebih banyak ke dalam pertunjukannya melalui banyak pantun-pantun yang lucu.

(Mengenai aspek modernitas dalam kabakaba yang diceritakan rabab Pasisia dan dendang Pauah kedua bentuk pertunjukan ini, lihat artikel Nigel Phillps (1991) dan Edwin Wieringa (1997) (lihat di atas); Suryadi, Dendang Pauah: Cerita Orang Lubuk Sikaping (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993); dan Suryadi, Rebab Pesisir Selatan: Zamzami dan Marlaini (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993).

Inilah sedikit pemikiran saya mengenai “Sastra Minangkabau Modern”. Mungkin saja ada fenomena terbaru sekitar kebahasaan dan kesastraan di Minangkabau yang tidak ter-cover oleh tulisan singkat ini, mengingat dua tahun terakhir ini saya hanya mengamati perkembangan kebudayaan Minangkabau dari jauh melalui media. Saya rasa para akademikus dan budayawan di Sumatra Barat sendiri tentu lebih banyak tahu. *** Volume 01 November 2008

(Tulisan ini pernah dimuat di berbagai media, dan dimuat kembali dalam buletin ini atas seizin pengarang)

Leave a comment

Filed under Isu Utama