Sejak lama sesungguhnya, kuasa politik tak saja wacana tentang kekuasaan atau pengaruh, tapi juga ranah domestik; rumah tangga, dapur, perkawinan, dan pakaian. 25 tahun lalu (1986) orang menyaksikan pertarungan wacana identitas oleh keberadaan pakaian yang ditampilkan oleh Imelda Marcos (ibu negara) dan Corazon Aquino (oposisi). Dua perempuan luar biasa dari Asia Tenggara ini berebut pengaruh politik dengan menampilkan citra antara modernitas dan tradisional dalam pakaian mereka. Imelda tampil secara elegan dengan pakaian modis terno, sebuah pakaian berlengan kupu-kupu dan menjadi “pakaian nasional”. Sementara Aquino dengan anggun muncul lewat pakaiannya yang selalu berwarna kuning, simbol perempuan mandiri dan tradisionalis.
Periode kolonial merupakan lahan subur bagi semainya kontradiksi antara yang moderen dengan tradisional, tak terkecuali pada simbolik makna dari pakaian keduanya (Roces, 2008). Wacana identitas ini, di Indonesia, salah satunya sangat kuat disimbolkan dalam cara berpakaian para pemimpin, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, Kyai Hasyim Ansy’ari, dan sebagainya. Pakaian mereka mempresentasikan makna dalam identitas kemodernan, nasionalis, keislaman, kejawaan, kesundaan, keminangkabauan, dan sebagainya. Tetapi sebaliknya, di level grass root terdapat tarung identitas yang membelah sosio-kultural masyarakat pada; kuno dan moderen.
Bagaimanapun, di setiap kompetisi budaya, maka adat atau nilai-nilai tradisi menjadi pusat perhatian dari tarikan pembaruan modernitas yang mendesak. Ini sangat tampak pada tarik menarik dan asimilasi pakaian adat dan pakaian moderen atau nasionalis di awal abad ke-20 lalu. Beberapa karya klasik terbitan Balai Pustaka, seperti Pertemuan, Siti Nurbaya, atau Sengsara Membawa Nikmat, pada sisi lain justru mengisahkan tarung wacana identitas pakaian diantara tokoh utamanya dan sosio-realis zaman.
Terbalik sebenarnya ketika konteks narasi ini dibawakan ke masyarakat Minangkabau (Minang), utamanya dalam pakaian adat mereka. Sebagai etnis dengan budaya pesisir, pakaian adat Minang terbentuk oleh akulturasi aksesoris budaya lain yang dibawa perantau ke tanah asal, konsep ini juga menyiratkan sifatnya yang kosmopolit.
Budaya pesisir
Kosmopolitanisme masyarakat Minang terbentuk oleh adanya ikatan emosional dan kultural sebagai entitas dagang. Meski oikumene (pusat peradaban) Minang terletak di kisar tiga gunung; Merapi, Singgalang, dan Sago. Namun tradisi masyarakat ini kental beraroma pesisir. Hal ini disebabkan adanya dua sungai besar yang melewati pemukiman masyarakat, seperti Batanghari, dan Siak-Indragiri. Temu arus sungai yang mengairi tiga wilayah kaki gunung tersebut menyebabkan masyarakat aktif dalam perdagangan “internasional”. Dalam keseharian, pakaian selain bagian dari ciri keminangkabauan, sekaligus komunikasi nirverbal diantara para pedagang sehingga mereka mengetahui mereka berhadapan dengan penghulu adat atau orang biasa. Oleh karena itu, tukar barang antar pedagang pendatang berdampak pada aksesoris adat Minang sebagai pusat perhatian dari tarikan temu dua budaya diantara mereka.
Maka sejak awal peradabannya, masyarakat Minang terbiasa dengan kosmopolitanitas yang terefleksi pada pakaian adat dan keseharian mereka. Pada pakaian adat, baik laki-laki dan perempuan disebutkan bahwa orang Minang itu; babaju guntiang cino, badeta Jao/Jawa, bakerih Aceh, basaruang bugih, sarawa batik jawa (berbaju gunting Cina, berikat kepala dari Jawa, berkeris Aceh, bersarung Bugis, bercelana batik Jawa). Terbaca dalam mamangan;
(kok nak pai bajalan
turuikkan langkah bak bacatua
turuikkan ayun bak babuai
pakailah pulo deta jawa
kanakkan malah kain bugih
saruangkan baju guntiang cino
pakai sarawa lambuak aceh
sarato tarompa rang gujarat
baitu caro anak dagang
(bila hendak berjalan
turutlah langkah bagaikan bermain catur
turutlah langkah bagaikan berbuai
pakailah destar (ikat kepala) Jawa
kenakanlah kain Bugis
sarungkan baju gunting Cina
pakai celana lembuk Aceh
serta terompah orang Gujarat
demikian cara anak dagang)
Pituah/mamangan di atas menjelaskan bagaimana anak dagang Minang hendak berjalan mencari kehidupan layak (merantau). Mereka belum berguna di rumahgadang sebagai “laki-laki” Minang—pararel dengan konsep “wong Jowo”. Sebagai identitas mereka mesti bisa meyakinkan orang lewat pakaian mereka yang kosmopolit. Dalam pituah itu mestilah berdestar Jawa, baju sutra dari Cina atau memakai terompah dari Gujarat. Menilik daerah-daerah yang disebut, maka sulit dipungkiri jika kelompok etnis itu telah berkontak langsung dengan orang Minang yang bertinggal di pusat pulau (Sumatera).
Namun pemisahan ekstrem atas mana yang modernis dan tradisionalis meminggirkan makna kontekstualitas kosmopolitanisme pakaian adat Minang di era kontemporer. Konstruksi modernitas sebagai bagian dari desakan hegemoni budaya Orde Baru selama tiga dekade makin menenggelamkan representasi makna kosmopolitan pakaian adat Minang. Ia terganti oleh yang disangkai sebagai maju dan bagian dari identitas kemajuan lewat jas, pentalon, rompi, jins, topi, dan sebagainya oleh sebagian besar orang Minang, termasuk di desa. Dalam perkembangan lanjutan, ironis, pakaian adat Minang kemudian makin tereduksi sebagai aksesoris budaya semata. Secara demonstratif pakaian moderen ditampilkan sebagai kreasi “politik modernitas”.
Mengawangi modernitas
“Politik modernitas” pakaian moderen orang Minang kini tidaklah berlokasi di dalam situs-situs kemodernan. Justru ia berjejak pada ruang-ruang purbakala sangka pemakainya. Terbalik kondisi ini ketika modernitas diacu pada pemutusan untuk bergaul dalam peradaban dunia yang dinamis (dunia dagang). Maka dari itu hidup dalam tradisi moderen tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Sebab, reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menutup apa yang baik dari masa lalu (tradisi/adat), dan menutup kesempatan pengayaan dari pengalaman tradisi lama yang dianggap kolot dan tidak maju. Tapi memaknai masa lalu sebagai pijakan kearifan, dan masa kini (yang moderen) sebagai resultasi pengayaan.
Pakaian adat yang menjadi simbol makna pada awalnya oleh tetua budaya Minang, kini, ditarik pada ketergerusan yang menempatkannya sebagai aksesoris belaka. Modernitas yang berusaha dimaknai sebagai identitas, justru menarik orang Minang pada paradoks entitas. Pada konteks inilah generasi terkini Minang hidup dalam kias; dek baharok rajawali tabang di langik, punai di tangan dilapeh (berharap rajawali yang terbang di langit, akhirnya punai—yang kecil—di tangan dilepas. Berharap mendapatkan hasil yang besar (modernitas) di angan, tapi yang ada di tangan justru dilepas. Padang Ekspres 17 April 2011.